"Memangnya ada apa dengan Ahmad,
Nad?" Hati-hati Mbak Fida bertanya. Maka meluncurlah dari mulut Nadia;
"Ya sebenarnya Mas Ahmad itu baik, tapi ada sesuatu yang bagi saya
kurang, mbak. Mestinya seorang aktifis pengajian itu hidupnya teratur,
tertib, nggak pernah ketinggalan sholat jama'ah di masjid, nggak absen
sholat lail, tilawahnya 1 juz setiap hari, selalu bersikap lembut kepada
istri, sabar, rapi, bisa jadi teman diskusi dan curhat istri, sempat
ngajarin istri, nggak suka nonton tivi, bisa ngambil hati mertua, begitu
kan mbak?"
Sambil membenahi buku-bukunya yang
berantakan (istrinya sedang keluar rumah dan sepulangnya dari kantor
Farhan mendapati rumahnya dalam keadaan 'porak poranda'), Farhan berkata
pada dirinya sendiri, "aku pikir menikahi seorang perempuan berjilbab
berarti urusan rumah tangga jadi beres. Mestinya istri itu bisa masak,
terampil ngurus rumah, ibadahnya oke, pinter melayani suami, sabar,
rajin, lembut, nyambung diajak diskusi, jago ngambil hati mertua...
Nadia dan Farhan boleh jadi
mewakili sosok sebagian kita yang memasuki gerbang pernikahan dengan
segunung angan-angan tentang sosok pasangan ideal. Tipikal seperti ini
biasanya telah memiliki idealisme sendiri tentang pasangan, jauh sebelum
hari pernikahan tiba. Idealisme itu begitu menguasai pikiran dan jiwa
hingga terus terbawa sampai mereka menikah, dan ketika setelah menikah
ternyata pasangannya tidak sebagaimana idealismenya, mereka kecewa dan
kemudian cenderung menyalahkan keadaan atau pihak lain.
Memang sah-sah saja kita memiliki
idealisme, termasuk idealisme tentang kriteria pasangan. Sayangnya,
kebanyakan kita menyangka bahwa sebuah idealisme dapat turun begitu saja
dari langit dan menjelma di hadapan kita. Padahal dengan demikian
idealisme kita itu akhirnya malah menjadi angan-angan belaka.Idealisme
tentang apapun tidak akan terwujud menjadi kenyataan jika tidak
diperjuangkan.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa' ayat 123:
"Pahala dari Allah itu
bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut
angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya
akan diberi balasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat
pelindung dan tidak pula penolong baginya selain Allah."
Kembali kepada Nadia dan Farhan,
idealisme mereka tentang kriteria pasangan telah menjadi angan-angan.
Mereka mengira dengan menikahi seorang aktifis pengajian atau seorang
perempuan berjilbab semua urusan menjadi beres, kehidupan rumah tangga
menjadi penuh bunga harum semerbak mewangi, tidak ada kerikil apalagi
ombak, pokoknya indah seperti yang dilukiskan dalam buku-buku.
Angan-angan itu akan membuat mereka kecewa. Ya, sebabnya adalah seperti
kata pepatah, 'tak ada gading yang tak retak' atau 'nobody's perfect'
(tak ada orang yang sempurna). Tidak ada manusia yang ma'shum (terjaga
dari salah dan dosa) kecuali Rasulullah SAW. Semua manusia pasti
memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak ada manusia yang pada dirinya
hanya terdapat kelebihan saja, sebagaimana juga tidak ada manusia yang
di dalam dirinya hanya ada kekurangan. Karena itu membayangkan pasangan
kita adalah sesosok manusia tanpa cela hanya karena ia ikhwan atau
berjilbab, menurut saya adalah pandangan kurang bijak.
Seorang ikhwan atau perempuan
berjilbab adalah manusia biasa. Komitmen dan ketaatan mereka dalam
beragama adalah suatu bentuk kesungguhan mereka dalam memproses diri
menjadi Hamba Allah yang bertaqwa. Dan merupakan hal yang sangat
manusiawi jika dalam menjalani proses tersebut terdapat
kekurangan-kekurangan. Karenanya menjadi aktifis pengajian atau
perempuan berjilbab itu bukanlah berarti mereka berubah menjadi malaikat
yang tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak pula berarti mereka
menjelma menjadi manusia tanpa cela.
Rumah tangga bahagia yang menjadi
syurga bagi penghuninya adalah idaman setiap orang. Tetapi ia akan
sekadar menjadi angan-angan bila tidak ada upaya dan perjuangan dari
kedua belah pihak -suami-istri- untuk mewujudkannya. Begitu pula halnya
dengan keinginan memiliki dan menjadi pasangan ideal yang diidamkan. Ia
pun hanya menjadi angan-angan selama kita tidak berusaha memprosesnya
menjadi kenyataan. Oleh sebab itulah pernikahan sebenarnya merupakan
ladang amal dan jihad bagi orang-orang yang menjalaninya.
Dari uraian diatas kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
- Harus disadari bahwa yang
bernama idealisme itu tidak begitu saja turun dari langit, tetapi harus
diperjuangkan. Dengan begitu ketika kita memiliki idealisme tentang
pernikahan dan pasangan ideal misalnya, kita sadar bahwa untuk
mewujudkannya menjadi kenyataan adalah dengan memperjuangkannya atau
dengan kata lain kita siap menjadikan pernikahan kita nantinya sebagai
ladang amal dan jihad kita dalam memproses diri menjadi lebih
berkualitas.
- Menyadari bahwa idealisme yang
menguasai pikiran dan jiwa dapat berkembang menjadi angan-angan belaka.
Menikah dengan membawanya serta hanya akan membuat kita menjadi pelamun,
mudah kecewa, cenderung tidak bersyukur terhadap apa yang ada, bahkan
menjadi orang yang suka menyalahkan keadaan atau pihak lain.
- Ingatlah selalu bahwa kita
menikahi pasangan kita dengan segala apa yang ada pada dirinya berupa
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya untuk disyukuri, kekurangannya
menjadi ladang jihad kita untuk memperbaikinya karena Allah. Dengan
begitu kita tidak akan mudah kecewa terhadap segala kekurangan yang
terdapat pada pasangan kita.
- Terakhir, camkan kata-kata ini ... "Jangan menikah dengan angan-angan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar